PuisiSenja di Pelabuhan Kecil merupakan salah satu karya Chairil Anwar yang sangat terkenal. Berikut ini puisinya: SENJA DI PELABUHAN KECIL (Chairil Anwar,1946) Buat Sri Aryati Ini kali tidak ada yang mencari cinta Di antara gudang-gudang, rumah tua, pada cerita Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada yang berlaut, 82Puisi Puisi Chairil Anwar Kumpulan Sajak 1942 1949 . Yup romansa adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta dan kasih sayang. Puisi terkenal karya chairil anwar. Taman punya kita berdua. Puisi ini mulai terlihat dengan adanya pujangga-pujangga baru dan mulai terkenal pada tahun 1945. Contoh puisi baru romansa adalah Taman karya Chairil Sajakkarya Chairil Anwar yang paling terkenal adalah Aku Ini Binatang Jalang (1986), Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus (1949), dan masih banyak lainnya. seperti cerpen, drama, hingga karya terjemahan. Karya-karya sastra ciptaan Beliau adalah Zaman Baru (1962), Dinding Waktu (1976), Peta Perjalanan CerpenChairil Anwar. Diatas merupakan 10 puisi dan sajak indah dari chairil anwar yang begitu melegenda dan banyak memberikan nasehat, motivasi dan inspirasi Chairil anwar merupakan sosok penyair terkenal. Aku sudah lebih dulu kaku. Dari kasus analisis yang dilakukan pada cerpen " terenyuh sepasang duda di maliawan karya chairil . Cerpen Berjalan Menjalani Panjang jalan di depan membentang dihamparan masa depan. Panjang jalan di belakang, kisah lalu dalam lembaran sejarah untuk dasar melangkah. Aku jejaki panjang jalan yang kisahnya masih menunggu kehadiranku. Meneruskan jalan panjang kisah lalu, karena aku adalah anak sejarah. Melewati masa kini, dan aku tinggal pergi. Aku kejar masa depan bersama perjalanan waktu. Kini kaki terus melangkah. Tak henti walau pandangan berat, terbebani. Juangnya adalah harap impian tercapai. Langkah yang panjang harus terbekali ketekunan dan kesabaran. Melewati sekumpulan manusia yang turun-naik dari kendaraan angkutan umum. Mendapati sekawan lama yang terlahir sebagai manusia. Ia adalah sekawan satu masa denganku. Aku sapa ia. “Hai, pergi?” “Hai juga. Iya. Kau pulang?” “Iya, Pulang.” Terlewatkan. Aku lewatkan karena perjalananku sendiri yang terasa individu. Sangat individu. Impian pun berbeda. Perjalanan sejatinya niat keindividuan kita untuk menjalani kehidupan. Aku pandang. Berjejeran pedagang. Bertempat di kios-kios. Terlihat laris. Laris manis. Untung walau tak melimpah. Ada pula yang tak laris. Betapa kehidupan yang berjalan dan berjalannya kehidupan adalah seucap kata “uang”. Pedagang yang berjejer adalah buktinya nyata, mereka butuh “uang”. Sampai duduk mematung, menunggu pelanggan atau pembeli baru sampai larut malam, buktinya nyata mereka butuh uang. Mereka tak lagi memandang ilmu apa yang di dapat. Mereka lebih memandang “seberapa mampu mendapat uang?” Sungguh mereka senang bila keuntungan melimpah ruah. Tapi ini hanya pedagang kecil? Kemampuan pun kecil. Mungkinkah? Berjuang. Terus berjalan penuh perjuangan. Hidup bukanlah perjuangan belaka. Hidup adalah perjalanan jiwa dan raga yang di dalamnya terselip perjuangan yang akan tetap mampu menggerakkan jiwa dan raga. Sehingga keberhasilan dalam perjalanan adalah kebahagiaan tiada tara. Mengingat perjuangan menggapainya yang bersusah-susah, berlelah-lelah, tersedih- sedih. Menjumpai dan melewati. Terus menjumpai dan terus melewati setiap kisah kehidupan. Kini kaki hinggap pada pemandangan sekolah. Terdapat sekumpulan siswa korban aturan kedisiplinan. Di luar sekolah berkumpul para pelajar malas atau bernasib sial. Menunggu di luar sekolah sembari sebatang rokok terhisap oleh banyak siswa seakan inilah “kedewasaan sejati”―dan pedagang pun diam tak punya urusan. Terlihat, seorang siswi dalam kegiatan berhias diri, melihat cermin tak henti seakan inilah “penampilan sejati”. Terlihat sepasang pelajar memadu kasih. Potret pendidikan warisan pendahulunya masih melekat membudaya. “Ah... aku jadi teringat di masa SMA. Dan teringat selalu di waktu itu. Ingatanku masih pulih. Mungkin karena sekolah selalu mendidik pada kegiatan menghafal.” Lalu perjalanan kaki membuatku menutup kembali kisahku yang dulu. Aku beralih pandang menatap kisah kehidupan yang lain. Ia hampir menyikut perjalanan kehidupanku. Aku terkejut. kaget. Ketakutan. Biar aku takut! Inilah kemanusiaan. “Dasar pengguna jalan yang tak beraturan! Peraturan lalu lintas hanya kisah lalu! Bedebah kau!” aku geram. Aku rekam kejadian itu. Itu kejadian buruk untukku. Aku jadikan sebagai pelajaran. Kembali aku lanjutkan. Lelah. Lelah dalam hidupku. Betapa kehidupan adalah perjalanan yang melelahkan. Jenuh. Apalagi di tambah ulah usil manusia yang tak beraturan. Makan hati. Lelah jiwa dan ragaku. Aku pelankan langkah. Langkah dalam pelan. Menenangkan keadaan dalam perjalanan hidupku. “Ada yang mau bantu aku?” Tapi semua diam. Tak ada yang menanggapi. Tapi karena memang aku hanya diam. Tak meminta belas kasihan. Sehingga semua itu harus berawal dari seucap mulut. “Tapi aku berikan bahasa isyarat pada orang-orang yang melewati perjalananku. Aku dalam lunglai, lelah. Mengapa mereka tak membaca isyarat bahasa tubuhku? Ah, mereka sudah tak peka dalam kehidupan kesosialannya. Mengapa harus berawal dari seucap mulut? Ah, Sudah lah,” gumamku. Aku tetapkan tekad berjalan walau dalam lelah. Berjalan untuk menjalani kehidupan. Karena kita tidak akan hidup bila tak ada perjalanan. Bahkan setelah mati pun kita menempuh perjalanan baru yang melelahkan untuk menjalani kehidupan akhirat. Jarak sudah makin menjauh dari belakang jalan. Aku telusuri tiap-tiap rumah. Sengaja melihat salah satu seindah rumah. Rumah tokoh masyarakat. Terkejut! Aku terkejut menatap dalam kesadaran. Memang aku terbiasa melewati pemandangan rumah ini. Tapi ini terkejut! Tak seperti biasa. Ini hal yang luar biasa. Entah jalur resmi atau jalur asal jadi. Ia memanjakan dua kekasih diteriknya matahari. Menjalani kehidupan rumah tangga dengan dua istri. Panas bertambah panas dalam hati. Entah lah. Yang jelas dua istri itu tunjukkan wajah tertawa. Mungkin terselip cemburu yang tertahan, tak terungkapkan. Entahlah. Yang jelas aku yang panas, cemburu. Kekasih satu pun tak ada di sampingku. Sehingga aku tetap berjalan dengan kesendirian. Tak apa lah. Haus. Lapar. Mereka menyerang tubuhku. Tak ada kata menunggu. Tapi tubuhku harus menunggu. Perjalanan masih lah jauh. Lumayan perjalanan dalam kejauhan. Keringat di punggung pun belum sempat aku keringkan. Tunggulah tenggorokan, tunggulah perut. Kalian akan segera terisi. Karena aku mengerti. kehidupan adalah rutinitas makanan dan minuman. Perjalanan menatap keramayan. Pertunjukkan? Bukan. Kegiatan tradisi. tradisi tujuh bulanan. Ia, itu benar. Tradisi tujuh bulanan hasil kolaborasi yang entah bagaimana asal mulanya. Selametan untuk si cabang bayi yang sudah menjalani kehidupan di ruang rahim selama tujuh bulan. Terlihat si ibu cabang bayi bermandikan air bunga. Bercampur dengan air tujuh sumur yang terpilih. Bercampur pula dengan bunga tujuh rupa. Entah bunga apa saja. Sembari diiringi puji-pujian, solawatan yang dilakukan para ibu-ibu. Disambut anak-anak, remaja, orang tua dan dari segala umur untuk meraup uang receh yang bertaburan. Huft... teringat waktu aku masih kecil. Tapi sekarang sudah dewasa. Sudah menjadi mahasiswa. Memiliki malu pula. Karena mahasiswa sudah di cap sebagai orang kritis. Padahal aku tidak. Tak henti-henti omongan orang dewasa yang berstatus mahasiswa melontarkan kritik pada tradisi hasil kolaborasi. Tapi aku tak menghiraukan. Aku malas membalas kritik. Yang penting, suasana hati meriah bahagia karena tradisi. Seakan ingin kembali ke masa kecil. Menjalani tradisi nusantara dengan polos dan lucu. Pemandangan meriah. Berubah. Entah cerita ini telah diatur sedemikian rupa atau memang tak disengaja. Yang jelas terlihat dua remaja berkelahi. Yang satu dari anak priayi yang satu lagi dari anak santri. Suatu pemandangan yang tak adil. Tak ada kuasa membalas bagi anak santri. Tapi bertubi-tubi anak priayi menghabisi. Akankah sampai terbawa-bawa tingkat derajat? Sehingga yang berderajat rendah mengalah, kalah. Ataukah karena ia tak berani? Ia seorang diri. Takut terancam di kemudian hari. Tapi yang jelas beberapa pemuda langsung memisahkan. Hanya cucuran darah anak santri yang masih berjalan melewati tiap pori-pori. Mengerikan. Lupakan. Tak penting. Perjalanan semakin mendekati masa akhir. Tapi kini melewati tempat manusia yang terpendam dalam tanah. Karena mati. Tentu. Bukan karena hidup. Aku berjalan sendiri. Suasana kembali sunyi. Tapi aku menikmati suasana ini. Memang tempat orang mati pantas dijadikan perenungan diri. Akan seperti apa kita nanti? Aku teringat Ayah. Ia meninggalkan perjalanan kehidupan bersamaku, bersama satu adikku, dua kakakku, pula meninggalkan perjalanan kehidupan bersama ibu tercinta... Waktu itu aku masih SMA. Aku berikan seucap salam untuk ahli kubur ini, pula kirimkan doa untuk ayah. Biarlah pengiriman doa untuk orang lain di lain waktu saja. Aku sedih. Tapi harus hilangkan sedih segera! Ya, Betul! Aku harus tegar! Dekat kuburan, sebelahnya terdapat gundukan sampah. Bau menyengat. Aku merasa terganggu. Suasana tenang, nyaman seakan kini terusik. Sampah! Dasar sampah! Masyarakat sering kali menjalani kegiatan menyampah ke tempat ini. Entah sudah berapa kali masyarakat mengulang- ulang perbuatannya. Sampai kini, gundukan sampah makin menggunung tak terurus. Ini telah menjadi sampah masyarakat. Dan aku membandingkan sekumpulan manusia mati dan sekumpulan sampah. Aku pun tertawa geli dalam hati, “Hahahahaha...” Mungkin sama. Perbedaannya hanya pada jiwanya. Tapi, bila jiwa seperti sampah, bagaimanakah? Entah lah. Pemandangan kerinduan terlihat. Akhirnya impianku tercapai. Masuk istana keluarga. Aku makin merasakan siksa dari tema tentang “haus dan lapar”. Aku segera masuk. Aku segera membereskan keadaan yang masih berbau dunia perkuliahan. Segera aku menjalani bekal diri untuk menyambut peristirahatanku. Agar dunia impian nampak indah. Kini aku semakin merasakan tak kuat dalam kesadaran. Aku rebahkan tubuhku. Pelan tapi pasti aku tak sadarkan diri dari kehidupan dunia. Aku pergi ke dalam kehidupan lain. Nampak begitu berbeda. Dan dalam kehidupan baru, aku tetap bisa menjalani perjalanan kehidupan dengan baik karena terbekali makanan dan minuman. Share Analisis Puisi Chairil Anwar Doa Red Books from Pengantar Cerpen merupakan salah satu genre sastra yang cukup diminati oleh masyarakat. Karya sastra Chairil Anwar merupakan salah satu yang terkenal di Indonesia. Chairil Anwar merupakan seorang penyair dan sastrawan terkenal Indonesia yang lahir pada tanggal 26 Juli 1922 di Medan, Sumatera Utara. Karyanya yang kental dengan nuansa keislaman dan kebangsaan, menjadi inspirasi bagi banyak penulis muda di Indonesia. Masa Kecil dan Pendidikan Chairil Anwar merupakan anak ketiga dari pasangan Haji M. Yusuf Anwar dan Saleha. Ayahnya adalah seorang ulama dan pengajar agama, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Chairil Anwar mulai menunjukkan bakatnya dalam menulis sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Dia sering menulis puisi dan cerpen di majalah sekolahnya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Chairil Anwar melanjutkan pendidikan di MULO Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Medan, dan kemudian melanjutkan ke SMP Negeri II di Jakarta. Namun, karena kurang tertarik dengan dunia pendidikan, Chairil Anwar tidak menyelesaikan pendidikannya hingga SMA. Karya-karya Chairil Anwar Chairil Anwar dikenal sebagai penyair paling berpengaruh di Indonesia pada zamannya. Karya-karyanya selalu diisi dengan makna yang mendalam dan menyentuh hati pembaca. Beberapa karya terkenal Chairil Anwar antara lain adalah 1. Aku 2. Krawang-Bekasi 3. Kerikil Tajam di Sungai Putih 4. Di Jalan yang Sunyi 5. Tiga Menguak Takdir Cerpen Terkenal Karya Chairil Anwar Cerpen terkenal karya Chairil Anwar adalah “Peristiwa di Persimpangan”. Cerpen ini bercerita tentang seorang pemuda yang mencoba untuk melupakan kisah cintanya yang gagal. Namun, di persimpangan jalan, dia bertemu dengan sang mantan kekasih yang membuatnya teringat kembali akan kenangan masa lalu. Cerpen ini menunjukkan perasaan yang mendalam dan cenderung melankolis. Pesan Moral dalam Cerpen “Peristiwa di Persimpangan” Cerpen “Peristiwa di Persimpangan” memiliki pesan moral yang cukup dalam. Yaitu, bahwa kenangan masa lalu tidak bisa dihapuskan begitu saja. Meskipun kita mencoba untuk melupakannya, namun ada saja hal-hal yang membuat kita teringat kembali akan kenangan tersebut. Oleh karena itu, kita harus belajar menerima dan memaafkan, serta berusaha untuk memperbaiki hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita. Peran Chairil Anwar dalam Dunia Sastra Indonesia Chairil Anwar merupakan salah satu tokoh penting dalam dunia sastra Indonesia. Karyanya yang penuh dengan makna, menjadi inspirasi bagi banyak penulis muda di Indonesia. Selain itu, Chairil Anwar juga menjadi pelopor dalam mengembangkan sastra Indonesia modern. Dia terkenal dengan ciri khas gaya sastranya yang sederhana namun penuh dengan makna. Keunikan Karya Chairil Anwar Salah satu keunikan karya Chairil Anwar adalah gaya bahasanya yang sederhana namun penuh dengan makna. Karyanya selalu diisi dengan makna yang mendalam dan menyentuh hati pembaca. Selain itu, Chairil Anwar juga terkenal dengan ciri khas gaya sastranya yang kental dengan nuansa keislaman dan kebangsaan. Kesimpulan Chairil Anwar merupakan seorang penyair dan sastrawan terkenal Indonesia yang karyanya sangat terkenal di Indonesia. Cerpen terkenal karya Chairil Anwar adalah “Peristiwa di Persimpangan” yang memiliki pesan moral yang cukup dalam. Karya-karyanya selalu diisi dengan makna yang mendalam dan menyentuh hati pembaca dan menjadi inspirasi bagi banyak penulis muda di Indonesia. Medan - Chairil Anwar adalah penyair kelahiran Kota Medan yang menciptakan banyak karya terkenal, khususnya puisi. Sampai akhir hidupnya, beliau yang berjasa dalam dunia sastra pun dikenang melalui peringatan Hari Puisi Nasional setiap tanggal 28 dengan karya puisi yang dibuat oleh tokoh terkemuka Chairil Anwar? Berikut detikSumut sajikan 30 kumpulan karya puisi Chairil Anwar yang menyentuh dan penuh makna. Simak artikel ini hingga akhir, ya, detikers!1. Aku Maret 1943Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang'kan merayuTidak juga kauTak perlu sedu sedan ituAku ini binatang jalangDari kumpulannya terbuangBiar peluru menembus kulitkuAku tetap meradang menerjangLuka dan bisa kubawa berlariBerlariHingga hilang pedih periDan aku akan lebih tidak perduliAku mau hidup seribu tahun lagi2. Tak Sepadan Februari 1943Aku kiraBeginilah nanti jadinyaKau kawin, beranak dan berbahagiaSedang aku mengembara serupa sumpahi ErosAku merangkaki dinding butaTak satu juga pintu baik juga kita padamiUnggunan api iniKarena kau tidak 'kan apa apaAku terpanggang tinggal Taman Maret 1943Taman punya kita berduatak lebar luas, kecil sajasatu tak kehilangan lain kau dan aku cukuplahTaman kembangnya tak berpuluh warnaPadang rumputnya tak berbanding permadanihalus lembut dipijak kita bukan taman punya berduaKau kembang, aku kumbangaku kumbang, kau penuh surya taman kitatempat merenggut dari dunia dan 'nusia4. Pelarian Februari 1943ITak tertahan lagiremang miang sengketa di siniDalam lariDihempaskannya pintu keras tak sepi seketikaDan paduan dua kelam ke malamTertawa-meringis malam menerimanyaIni batu baru tercampung dalam gelita"Mau apa? Rayu dan pelupa,Aku ada! Pilih saja!Bujuk dibeli?Atau sungai sunyi?Mari! Mari!Turut saja!"Tak kuasa ...terengkamIa dicengkam Hukum Maret 1943Saban sore ia lalu depan rumahkuDalam baju tebal abu-abuSeorang jerih menangkis jalannya - LesuPucat mukanya - LesuOrang menyebut satu nama jayaMengingat kerjanya dan jasaMelecut supaya terus ini padanyaTapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenagaPekik di angkasa Perwira mudaPagi ini menyinar lain masaNanti, kau dinanti-dimengerti!6. Rumahku April 1943Rumahku dari unggun-timbun sajakKaca jernih dari luar segala nampakKulari dari gedong lebar halamanAku tersesat tak dapat jalanKemah kudirikan ketika senjakalaDi pagi terbang entah ke manaRumahku dari unggun-timbun sajakDi sini aku berbini dan beranakRasanya lama lagi, tapi datangnya datangAku tidak lagi meraih petangBiar berleleran kata manis maduJika menagih yang Kesabaran Maret 1943Aku tak bisa tidurOrang ngomong, anjing nggonggongDunia jauh mengaburKelam mendinding batuDihantam suara bertalu-taluDi sebelahnya api dan abuAku hendak berbicaraSuaraku hilang, tenaga terbangSudah! tidak jadi apa-apa!Ini dunia enggan disapa, ambil perduliKeras membeku air kaliDan hidup bukan hidup lagiKuulangi yang dulu kembaliSambil bertutup telinga, berpicing mataMenunggu reda yang mesti tiba8. Sendiri Februari 1943Hidupnya tambah sepi, tambah hampaMalam apa lagiIa memekik ngeriDicekik kesunyian kamarnyaIa membenci. Dirinya dari segalaYang minta perempuan untuk kawannyaBahaya dari tiap sudut. Mendekat jugaDalam ketakutan-menanti ia menyebut satu namaTerkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?Ah! Lemah lesu ia tersedu Ibu! Ibu!9. Suara Malam Februari 1943Dunia badai dan topanManusia mengingatkan "Kebakaran di Hutan"*Jadi ke manaUntuk damai dan reda? kali ini diam kaku sajaDengan ketenangan selama bersatuMengatasi suka dan dukaKekebalan terhadap debu dan tak sedarSeperti kapal pecah di dasar lautanJemu dipukul ombak dalam TiadaDan sekali akan menghadap Allah! Badanku terbakar - segala sudah melewati Pintu tertutup dengan Merdeka Juli 1943Aku mau bebas dari segalaMerdekaJuga dari IdaPernahAku percaya pada sumpah dan cintaMenjadi sumsum dan darahSeharian kukunyah kumamahSedang meradangSegala kurenggutIkut bayangTapi kiniHidupku terlalu tenangSelama tidak antara badaiKalah menangAh! Jiwa yang menggapai-gapaiMengapa kalau beranjak dari siniKucoba dalam Bercerai Juni 1943Kita musti berceraiSebelum kicau murai kita minta pada malam iniBenar belum puas serah-menyerahDarah masih kita minta pada malam musti berceraiBiar surya 'kan menembus oleh malam di perisaiDua benua bakal kesumba jadi putih IDA, mau turut mengaburTidak samudra caya tempatmu Sia-sia Februari 1943Penghabisan kali itu kau datangMembawa karangan kembangMawar merah dan melati putihDarah dan tebarkan depankuSerta pandang yang memastikan itu kita sama termanguSaling bertanya Apakah ini?Cinta? Keduanya tak itu kita hampir Hatiku yang tak mau memberiMampus kau dikoyak koyak Penghidupan Desember 1942Lautan maha dalamMukul dentur selamaNguji tenaga pematang kitaMukul dentur selamaHingga hancur remuk redam Kurnia BahgiaKecil setumpukSia-sia dilindung, sia-sia Nisan Oktober 1942Untuk nenekandaBukan kematian benar menusuk kalbuKeridlaanmu menerima segala tibaTak kutahu setinggi itu atas debudan duka maha tuan Diponegoro Februari 1943Di masa pembangunan iniTuan hidup kembaliDan bara kagum menjadi apiDi depan sekali tuan menantiTak gentar. Lawan banyaknya seratus di kanan, keris di kiriBerselempang semangat yang tak bisa barisan tak bergenderang berpaluKepercayaan tanda berartiSudah itu NegeriMenyediakan di atas menghambaBinasa di atas ditindaSungguhpun dalam ajal baru tercapaiJika hidup harus Ajakan Februari 1943IdaMenembus sudah cayaUdara tebal kabutKaca hitam lumutPecah pencar sekarangDi ruang legah lapangMari ria lagiTujuh belas tahun kembaliBersepeda sama gandenganKita jalani ini jalanRia bahgiaTak acuh apa-apaGembira girangBiar hujan datangKita mandi-basahkan diriTahu pasti sebentar kering Lagu Biasa Maret 1943Di teras rumah makan kami kini berhadapanBaru berkenalan. Cuma berpandanganSungguhpun samudra jiwa sudah selam berselamMasih saja berpandanganDalam lakon pertamaOrkes meningkah dengan "Carmen" mengerling. Ia ketawaDan rumput kering terus menyalaIa berkata. Suaranya nyaring tinggiDarahku terhenti berlariKetika orkes memulai "Ave Maria"Kuseret ia ke Kenangan April 1943Untuk Karinah MoordjonoKadangDi antara jeriji itu itu sajaMereksmi memberi warnaBenda usang dilupaAh! tercebar rasanya diriMembubung tinggi atas kiniSejenakSaja. Halus rapuh ini jalinan kenangHancur hilang belum dipegangTerhentakKembali di itu itu sajaJiwa bertanya; Dari buahHidup kan banyakan jatuh ke tanah?Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia19. Dendam Juli 1943Berdiri tersentakDari mimpi aku bengis dielakAku tegakBulan bersinar sedikit tak nampakTangan meraba ke bawah bantalkuKeris berkarat kugenggam di huluBulan bersinar sedikit tak nampakAku mencariMendadak mati kuhendak berbekas di jariAku mencariDiri tercerai dari hatiBulan bersinar sedikit tak tampak20. Kawanku dan Aku Juni 1943Kepada BohangKami jalan sama. Sudah larutMenembus mengucur kapal-kapal di mengental-pekat. Aku berkata?Kawanku hanya rangka sajaKarena dera mengelucak bertanya jam berapa!Sudah larut sekaliHingga hilang segala maknaDan gerak tak punya Dengan Mirat Januari 1946Kamar ini jadi sarang penghabisanDi malam yang hilang batasAku dan dia hanya menjengkauRakit hitam.'Kan terdamparkahAtau terserahPada putaran pitam?Matamu ungu membatuMasih berdekapankah kami atauMengikut juga bayangan itu?22. Isa November 1943Kepada nasrani sejatiItu TubuhMengucur darahMengucur darahRubuhPatahMendampar tanya aku salah?Kulihat Tubuh mengucur darahAku berkaca dalam darahTerbayang terang di mataMasa bertukar rupa ini segaraMengatup lukaAku bersukaItu TubuhMengucur darahMengucur darah23. Sorga Januari 1946Buat Basuki ResobowoSeperti ibu + nenekku jugaTambah tujuh keturunan yang laluAku minta pula supaya sampai di sorgaYang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susuDan bertabur bidari beribuTapi ada suara menimbang dalam diriku,Nekat mencemooh Bisakah kiranyaBerkering dari kuyup laut biru,Gamitan dari tiap pelabuhan gimana?Lagi siapa bisa mengatakan pastiDi situ memang memang ada bidariSuaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?24. Doa November 1943Kepada pemeluk teguhTuhankuDalam termanguAku masih menyebut namaMuBiar susah sungguh mengingatKau penuh seluruhCayaMu panas suciTinggal kerdip lilin di kelam sunyiTuhankuaku hilang bentukremukTuhanku aku mengembara di negeri asingTuhankudi pintuMu aku mengetukaku tidak bisa berpaling25. Cerita Juni 1943Kepada DarmawidjayaDi pasar baru merekaLalu sudah kesalTak tahu apa dibuatJiwa satu teman lucuDalam hidup, dalam diselimuti tebalSama segala kadang pula dapatIni renggang terus Kita Guyah Lemah Juli 1943Kita guyah lemahSekali tetak tentu rebahSegala erang dan jeritanKita pendam dalam keseharianMari tegak merentakDiri sekeliling kita bentakIni malam purnama akan menembus Dalam Kereta Maret 1944Dalam menebal jendelaSemarang, Solo..., makin dekat sajaMenangkup menyayat mulut dan kereta. Menjengking jiwa,Sayatan terus ke Jangan Kita Disini Berhenti Juli 1943Jangan kita di sini berhentiTuaknya tua, sedikit pulaSedang kita mau berkendi-kendiTerus, terus dulu...!!Ke ruang di mana botol tuak banyak berbarisPelayannya kita dilayani gadis-gadisO, bibir merah, selokan mati pertamaO, hidup, kau masih ketawa??29. Penerimaan Maret 1943Kalau kau mau kuterima kau kembaliDengan sepenuh hatiAku masih tetap sendiriKutahu kau bukan yang dulu lagiBak kembang sari sudah terbagiJangan tunduk! Tentang aku dengan beraniKalau kau mau kuterima kau kembaliUntukku sendiri tapiSedang dengan cermin aku enggan Perhitungan Maret 1943Banyak gores belum terputus sajaSatu rumah kecil putih dengan lampu merah muda cayaLangit bersih cerah dan purnama raya...Sudah itu tempatku tak tentu di pandangan serupa dua klewang bergeseranSudah itu berlepasan dengan sedikit heranHembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi...!?Kini aku meringkih dalam malam itulah 30 kumpulan karya puisi Chairil Anwar yang menyentuh dan penuh makna. Semoga bermanfaat, ya, detikers!Artikel ini ditulis oleh Felicia Gisela Sihite, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom. Simak Video "Lukman Sardi Terbawa Emosi Saat Bacakan Karya Puisi Chairil Anwar" [GambasVideo 20detik] nkm/nkm Bukan kematian benar menusuk kalbu Keridlaanmu menerima segala tiba Tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertakhta1 — Di atas panggung, beberapa kotak yang disembunyikan begitu saja di balik kain hitam, Ranggalawe gugur. Tujuh bidadari tua mengelilingi tubuhnya yang tegak berdiri -bahkan kematian tak mampu merubuhkannya. Mereka melempari tubuh yang mematung itu dengan bunga. Hanya angin malam yang sanggup menyaksikannya. Angin yang sejak 10 tahun yang lalu menggerakkan rombongan itu dari satu lapangan ke lapangan yang lain. Dari satu kesepian menuju kesepian berikutnya. Dan malam itu selesailah semuanya. Angin tak sanggup lagi menggerakkan mereka menuju pemberhentian berikutnya. Lalu angin pelan-pelan mati. Dan tak mampu menggerakkan dirinya sendiri. ”Malam ini adalah pertunjukan terakhir kami. Tak ada lagi yang menginginkan kehadiran kami. Tak ada lagi yang menyaksikan kami. Kami tak punya alasan lagi untuk berlama-lama di sini.” Seseorang gendut berkaos hitam membuka acara. Di belakangnya berjajar para aktor mengenakan kostumnya masing-masing. Wajah-wajah yang tak bahagia telah disembunyikan sejak sore tadi di balik bedak. Kakek-kakek di balik wajah Menak Jingga yang merah mencoba berdiri tegak. Ranggalawe yang berdiri di sampingnya demikian pula. Sebentar lagi mereka akan bertarung untuk terakhir kalinya. Continue reading “Ranggalawe Gugur” →

cerpen terkenal karya chairil anwar